Ummu Afra adalah seorang akhwat keturunan
Padang, usianya 24 tahun, baru setahun menikah dengan Mahmud dan baru
dikaruniai seorang anak. Nama aslinya Rizka Anggraeni, lulusan
Universitas Negeri Jakarta jurusan Biologi. Orang tuanya adalah
pengusaha kelapa sawit ternama di Pekanbaru, sehingga soal ekonomi, Ummu
Afra tak pernah ada kekhawatiran. Ia adalah anak pertama dari 3
bersaudara. Adik-adiknya semua perempuan, dan yang paling kecil masih
duduk di Madrasah Aliyah.
Mahmud Abdillah adalah seorang lulusan
Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Usianya 3 tahun lebih tua daripada
Ummu Afra. Sehari-hari ia biasa dipanggil Abu Afra, karena putri
pertamanya bernama Afra Rizkyarti. Ia saat ini bekerja di perusahaan
konsultan IT ternama. Ia aktif di DPD PARTAI Jakarta Selatan, dan
sering mengikuti aktivitas-aktivitas sosial di sekitar lingkungan
rumahnya.
Sebagai salah seorang kader PARTAI ,
Mahmud rutin mengikuti liqo’ di Masjid yang berada dekat dengan
rumahnya. Murabbinya adalah seorang tokoh penting di DPD PARTAI Jakarta
Selatan, Nurdin Rahmatullah namanya. Berusia 30 tahun, lulusan Perbanas
Jakarta dan sekarang bekerja sebagai seorang Manager di sebuah Bank
Swasta ternama. Orangnya sedikit gemuk, kulitnya putih bersih, dan
suaranya penuh wibawa. Mahmud pun bingung bagaimana bisa istrinya punya
prasangka buruk kepada murabbinya itu.
Seperti kejadian hari ini, diawali dengan
kunjungan Nurdin ke rumah Mahmud, di daerah Pejompongan, untuk membawa
sedikit oleh-oleh. Kebetulan Nurdin memang baru pulang dari kampung
halamannya di Yogyakarta, dan ia kemarin menelepon Mahmud dan mengatakan
bahwa ia akan mampir ke rumah untuk membawakan oleh-oleh. Mahmud
sebenarnya sudah menawarkan diri untuk mengambil sendiri oleh-oleh
tersebut ke rumah Nurdin, tapi Nurdin menolak dengan alasan ia ada acara
lagi hari ini dan kebetulan letaknya searah dengan rumah Mahmud. Mahmud
pun mengiyakan karena ia memang capek juga setalah lembur semalaman dan
sedikit malas ke rumah Nurdin yang cukup jauh.
Sekitar jam 10 pagi, Nurdin pun sampai di
rumah Mahmud dengan mobil CRV nya. Baru saja turun dari mobil, Mahmud
ternyata telah menyambutnya di depan rumah.
“Assalamualaykum Akhi … Kayfa haluk, Apa kabar?” ujar Mahmud membuka percakapan.
“Alhamdulillah bi khair akhi, baik-baik
saja. Antum baik-baik juga kan?” Kedua ikhwan tersebut pun saling
berpelukan melepas rindu karena memang sudah sekitar 2 minggu tidak
bertemu.
“Alhamdulillah … bagaimana neh yang dari Jogja, hee, pasti capek sekali ya. Ayo masuk akhi …”
“Baiklah.”
Mereka berdua pun masuk ke dalam ruang
tamu sambil tak henti-hentinya berbincang-bincang mengenai berbagai
macam hal. Mulai dari kondisi PARTAI , Munas yang akan berlangsung
sebentar lagi, sampai cerita perjalanan Nurdin ke Jogja. Setelah
mempersilahkan duduk, Mahmud pun memanggil istrinya untuk menyajikan
sesuatu untuk tamunya itu.
“Ummi … buatkan minum yaa. Mas Nurdin sudah datang neh.”
“Iya abii …” terdengar suara dari balik gorden hijau yang membatasi ruang tamu tersebut dengan ruang keluarga di baliknya.
“Terus, bagaimana di Jogja akhi, pasti senang yah di sana?”
“Pasti dunk Akh … Ana keliling mulai dari
Candi Borobudur, Prambanan, sampai ke Parangtritis. Ini ana bawakan
foto-fotonya …” ujar Nurdin sambil memberikan beberapa lembar foto hasil
kemarin ia jalan-jalan di Jogja.
Baru melihat foto pertama, Mahmud sudah
dibuat terkesiap. Bukan karena pemandangan foto itu yang demikian
menarik, tapi lebih karena objek yang ada di foto tersebut. Di setiap
foto pasti ada Ummu Aisyah, istri Nurdin. Nama aslinya Farah Ardiyanti
Nisa, teman sekelasnya waktu SMA. Mereka pun sama-sama kuliah di UI,
walau Ummu Aisyah lebih memilih Pendidikan Dokter. Kabar terakhir yang
dia dengar dari Nurdin, sekarang Ummu Aisyah sudah mempunyai klinik
sendiri di rumahnya.
Dalam hati kecilnya, Mahmud masih
memendam sedikit rasa kepada Ummu Aisyah. Parasnya memang tidak secantik
Ummu Afra, istrinya sekarang. Tapi setiap berdekatan dengan Ummu
Aisyah, Mahmud selalu merasakan gelora yang begitu kuat, baik sejak SMA
maupun setelah kuliah. Tapi bodohnya ia tak pernah mengatakannya
sekalipun kepada Ummu Aisyah, hingga ia pun jatuh ke pelukan Nurdin,
murabbinya sendiri.
Tanpa disadari Mahmud istrinya ternyata
telah selesai menyiapkan minuman dan telah keluar ke ruang tamu untuk
menyajikannya. Nurdin tersenyum manis ketika melihat Ummu Afra keluar.
Wanita berpipi tembam dengan kacamata minus itu tampak begitu cantik di
mata Nurdin. Ia pun tak bisa melepaskan tatapannya dari wajah Ummu Afra.
“Silahkan diminum tehnya Abi, Mas Nurdin”
Mahmud baru tersadar bahwa istrinya telah ada di hadapannya. Dengan
sedikit gelagapan ia pun mengembalikan foto-foto tersebut kepada Nurdin.
“Letakkan di situ saja Ummi …” jawab Mahmud sekenanya.
Pikirannya masih melayang memikirkan Ummu
Aisyah, alias Farah Ardiyanti Nisa. Saking seriusnya, ia pun tak
memperhatikan bagaimana Nurdin memandang istrinya. Ketika Ummu Afra
menyajikan minuman sambil menunduk, Payudaranya yang berukuran 36B
tampak begitu menjulang dan terlihat jelas walau ia telah mengenakan
jilbab lebar dan jubah panjang khas seorang ummahat aktivis. Nurdin
tampak memandang Ummu Afra begitu tajam, naik turun dari ujung kaki
hingga ujung kepala, dan Ummu Afra benar-benar merasa risih dengan hal
itu. Ketika ia merasa diperkosa dengan tatapan seperti itu, suaminya
malah terlihat bagai orang linglung yang melamun membayangkan sesuatu
yang tidak jelas. Ummu Afra pun memilih untuk langsung kembali ke
belakang.
Sorenya, setelah Nurdin pulang, barulah
Ummu Afra bercerita kepada suaminya, hingga mereka terlibat pertengkaran
kecil karena Mahmud terus saja membela Nurdin. Sebenarnya karena ia
memang tidak melihat jelas kejadian tersebut karena pada saat yang sama
ia sedang memikirkan Ummu Aisyah, istri Nurdin.
(Pagi keesokan harinya …)
Mahmud sedang mengendarai motornya menuju
ke kantornya pagi itu, ketika tiba-tiba sebuah mobil pick-up pengangkut
pasir melaju sangat kencang dari belakang dan hampir menabrak motor
bebeknya yang sudah cukup tua itu. Beruntung Mahmud masih sempat
menghindar ke kiri sehingga tabrakan hebat bisa dihindarkan. Tapi
sedikit senggolan dari mobil itu sudah cukup untuk membuat Mahmud
kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke trotoar. Lengan sebelah kirinya
pun lecet-lecet karenanya. As depan motornya ringsek sehingga tidak bisa
dikendarai lagi, dan celakanya, jalan yang sedang ia lewati saat ini
sangat sepi, sehingga ia tidak bisa meminta bantuan untuk membantu
dirinya atau mengejar mobil yang menyerempat dirinya itu.
Ia pun mengangkat sendiri motornya yang
ringsek itu. Ia tak bisa mengendarai motor itu dan memutuskan untuk
berjalan walaupun dengan tertatih-tatih sambil menuntun motornya untuk
mencari bengkel. Sekitar 15 menit dia berjalan, ia pun menemukan sebuah
bengkel. Tanpa pikir panjang, ia pun langsung memasukkan motornya ke
situ dan meminta seorang montir untuk mengecek motornya yang ringsek.
Ketika sedang memandang sekeliling
bengkel motor yang cukup besar itu, mata Mahmud berhenti dan langsung
fokus ke sosok seorang wanita berjilbab ungu dengan jubah berwarna putih
yang sedang melakukan pembayaran di kasir. Secara kebetulan, wanita itu
pun memandang ke arahnya dan mendekatinya.
“Mahmud … ?” Ujar wanita itu ketika ia sudah cukup dekat dengan Mahmud.
“Farah … ?” jawab Mahmud dengan pertanyaan serupa.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Baru kemarin
Mahmud membayangkan Ummu Aisyah, istri Nurdin, dan kini wanita yang
menjadi idamannya sejak dulu itu kini berada tepat di hadapannya.
Parasnya yang begitu manis dengan lesung pipit yang demikian menggoda
masih tetap sama.
“Masya Allah, benar Mahmud yaa … Apa kabar antum, sejak lulus kan kita belum pernah ketemu lagi. Apa kabar?”
“Alhamdulillah baik-baik saja ukhti, ya beginilah ana, masih kayak dulu aja.”
“Ada apa ini koq tangan antum penuh darah?”
“Ohh ini, gak apa-apa koq. Cuma tadi keserempet mobil gitu … tuh motor ana jadi ringsek, gak bisa pergi ke kantor deh, hee”
“Duhh, jangan anggap remeh dunk akh, ke
klinik ana dulu yukk … nanti takutnya infeksi. Klinik ana tepat di
samping bengkel ini koq.”
“Nggak usah ukhti, nanti ngerepotin.”
“Ahh, tidak. Ini kan tugas ana sebagai dokter. Ayo ikut Ana …” ujar Ummu Aisyah memaksa.
Karena paksaan itu, Mahmud pun mengiyakan
dan mengikuti Ummu Aisyah setelah menitipkan motornya ke montir yang
menangani motornya. Benar kata Ummu Aisyah, kliniknya memang berada
tepat di samping bengkel motor tersebut. Klinik itu seperti ruko tingkat
dua. Ummu Aisyah pun mengajak Mahmud ke lantai 2, tempat ruang
prakteknya berada. Tak terlihat seorang pun di klinik tersebut selain
mereka berdua.
“Koq sepi ukhti?”
“Iya, asisten ana lagi pulang kampung,
dan sebenarnya ana lagi gak praktek hari ini, Cuma kebetulan disuruh
suami servis motor saja.
“Silahkan berbaring di tempat tidur, Akh” ujar Ummu Aisyah sambil memakai jas dokternya dan memakai masker.
Mahmud pun merebahkan dirinya dengan hati
yang dag dig dug, kenapa? Karena sebentar lagi ia akan bersentuhan
dengan Ummu Aisyah, wanita yang ia sukai sejak SMA, yang tubuh dan
suaranya begitu menggodanya dan membangkitkan birahinya. Dari tempatnya
berbaring, ia bisa melihat Ummu Aisyah yang sedang mengambil obat-obatan
dari sebuah lemari kaca di pojok ruangan.
Ummahat dengan jas dokter berwarna putih
itu memunggunginya, tubuhnya yang sintal tercetak jelas pada jas dokter
tersebut. Pose ummahat berjilbab itu demikian menantang ketika ia
sedikit berjinjit untuk mengambil alcohol di rak atas. Hal itu membuat
roknya yang berwarna hitam sedikit terangkat sehingga betisnya yang
berbalut kaos kaki berwarna krem terlihat dari belakang. Pinggulnya
demikian seksi, demikian juga dengan bagian punggungnya yang tak
tertutupi oleh jilbab panjang berwarna ungu yang dikenakannya karena
jilbab itu dimasukkan ke dalam jas.
Ketika Ummu Aisyah berbalik ke arahnya,
Mahmud pun memalingkan muka ke arah lain, walau ‘adik kecil’nya yang ada
di bawah sudah terus berontak. Walau ia adalah seorang aktivis dan
kader PARTAI , namun Mahmud tak bisa menyembunyikan bahwa ia juga
mempunyai nafsu yang besar, apalagi kepada akhwat yang telah lama ia
sukai itu.
“Tuh kan lukanya kotor … kalau tidak
cepat ditangani bisa infeksi neh Akh,” ujar Ummu Aisyah memulai
pemeriksaan. Ia membersihkan luka Mahmud dengan lap basah. Sayang ia
tidak tahu bahwa pasiennya kini tidak lagi fokus kepada lukanya, tapi
lebih kepada bayangan-bayangan indah tentang hubungan laki-laki dan
wanita yang sedang berseliweran di kepalanya. Ia pandangi wajah Ummu
Aisyah yang berhidung mancung itu lekat-lekat.
“Iya ukhti … tadi soalnya jatuh di
trotoar gitu,” jawab Mahmud sekenanya, tangannya merasakan rabaan dan
sentuhan Ummu Aisyah yang begitu lembut, membuat angan-angannya terus
berkelana tanpa batas.
“Tahan sedikit yah sakitnya Akh … Ana
tutup dulu lukanya,” dengan sigap Ummu Aisyah langsung menutup luka
Mahmud dengan perban. Ia kembali merasakan telapak tangan Ummu Aisyah
yang begitu halus di lengannya yang luka, ahh, tak dapat dibayangkan
betapa terangsangnya ia saat ini.
“Nahh, sudah selesai, Akh”
Ketika Ummu Aisyah berjalan kembali ke
meja kerjanya, Mahmud pun langsung berdiri dari tempat tidur dan
mengikuti Istri Nurdin itu dari belakang. Begitu ia tepat berada di
belakang ummahat tersebut, tiba-tiba Ummu Aisyah berbalik dan sedikit
kaget melihat Mahmud telah berada di belakangnya.
“Errr … ini kartu nama Ana, kalau sewaktu-waktu antum bu … butuh bantuan,” ujar Ummu Aisyah sedikit tegang.
Mahmud pun mengambil kartu nama dari
dompetnya dan memberikannya kepada Ummu Aisyah untuk saling bertukar
kartu nama. Namun ketika kartu nama itu telah berpindah tangan, tangan
Mahmud tiba-tiba menggenggam tangan Ummu Aisyah dengan erat. Ummu Aisyah
yang kaget tidak melakukan apa-apa dan hanya bisa memandangi mata
Mahmud dalam-dalam.
Tanpa sepengetahuan Mahmud, sebenarnya
Ummu Aisyah juga memiliki ketertarikan kepada Mahmud sejak SMA. Namun
sayang, semakin ia menunggu, semakin Mahmud menjauhinya. Hingga akhirnya
Nurdin datang untuk melamarnya, dan tak ada yang bisa ia lakukan
kecuali menerimanya, karena ia pun tak tahu saat itu Mahmud ada di mana.
Kini memori-memori indah itu pun kembali, di saat mereka hanya berduaan
di ruangan praktek ini.
Suasana begitu hening ketika jarak di
antara kedua aktivis PARTAI yang sudah memiliki keluarga masing-masing
ini semakin dekat. Semakin dekat dan semakin dekat lagi hingga Mahmud
bisa merasakan aroma parfum strawberry yang dipakai Ummu Aisyah,
membuatnya semakin bergairah. Tangan Ummu Aisyah yang begitu halus telah
larut dalam elusan-elusan Mahmud yang lembut dan menyejukkan.
Tanpa mereka rencanakan sebelumnya, bibir
mereka berdua kini telah saling berhadapan dan Ummu Aisyah telah
memejamkan matanya. Tak menunggu lama lagi, kedua insan yang berlainan
jenis itu pun langsung terlibat sebuah percumbuan yang hangat dan
erotis. Mereka yang pernah berhubungan sewaktu masa SMA dan kuliah itu
kini terlibat percumbuan terlarang di ruangan praktik Ummu Aisyah alias
dokter Farah.
Tanpa terasa, kini Ummu Aisyah telah
bersandar di dinding ruang prakteknya yang dingin, bersama dengan
Mahmud, teman SMA yang telah ia kagumi sejak dulu walau pada hakikatnya
Mahmud bukanlah mahrom Ummu Aisyah. Mahmud pun tak menghiraukan lagi
akal sehatnya yang mengatakan bahwa ia adalah seorang aktivis muslim yang telah beristri, dan
Ummu Aisyah pun juga telah mempunyai suami. Tapi kapan lagi ia bisa
memeluk tubuh seorang dokter muslimah yang begitu cantik, yang begitu
ikhlas hanyut dalam dekapannya.
Percumbuan mereka semakin lama pun
semakin memanas, Mahmud sudah tidak malu-malu lagi untuk melumat bibir
ummahat beranak satu yang tampaknya juga tengah hanyut dalam gelombang
birahi itu. Tak lupa ia juga turut mengeluarkan lidahnya untuk diadu
dengan lidah Ummu Aisyah sambil terus menjamah seluruh tubuh wanita
cantik tersebut dengan tangannya, tanpa kecuali.
“Ahhh … Mahmudd, ini salah Akhi, Ohhh …”
Ummu Aisyah berusaha melepaskan dirinya dari dekapan Mahmud yang
tampaknya sudah demikian bernafsu itu, ia menyadari bahwa ini adalah
kesalahan. Dan ia pun tak habis pikir bagaimana bisa birahinya
terpancing dengan begitu mudah.
“Sudahlah Ukhti, nikmati saja … tidak ada
yang akan tahu apa yang kita lakukan di sini,” jawab Mahmud sambil
terus menyodorkan bibirnya untuk diadu dengan bibir Ummu Aisyah yang
kian memerah.
Setelah merasa puas dengan bibir ummahat
berusia 27 tahun yang masih begitu seksi itu, Mahmud pun mencoba
melepaskan jas putih yang dipakai Ummu Aisyah. Ternyata dengan mudah
Mahmud mampu menanggalkannya dalam sekejap ke lantai, hingga kini ia
langsung berhadapan dengan payudara yang telah demikian membusung milik
seorang dokter muslimah yang sehari-harinya berperilaku sangat alim itu.
Ummu Aisyah pun seperti tak mau kalah,
dengan cekatan jemarinya yang lentik itu melepaskan kancing demi kancing
kemeja Mahmud hingga terlihatlah dada Mahmud yang bidang dan berbulu
karena Mahmud memang tidak memakai kaos dalam lagi di balik kemejanya.
Biasanya ia baru memakai kaos dalam begitu tiba di kantor. “Ahh …
Mahmud, dadamu membuatku ….errr, terangsang …” paras Ummu Aisyah
benar-benar memerah karena malu ketika mengatakan kata-kata binal
tersebut dengan jelas.
Tanpa menunggu panjang, Mahmud langsung
melancarkan serangan ke leher Ummu Aisyah yang masih berbalut jilbab
panjang berwarna ungu tersebut. Sambil merangsang titik-titik sensitif
Ummu Aisyah, Mahmud pun berusaha menelusupkan tangannya ke balik jilbab
dan jubah yang dikenakan wanita alim tersebut. Sasarannya tak lain dan
tak bukan adalah payudara milik sang akhwat yang sedari tadi begitu
menantang Mahmud. Ukurannya sih tidak terlalu besar, masih kalah dengan
milik Ummu Afra istrinya sendiri, namun bentuk payudara Ummu Aisyah
lebih bagus dan putingnya begitu cantik, berwarna pink.
“Ahhh … Mahmuddd, ahhh …”
Desahan binal Ummu Aisyah terdengar makin
keras seiring Mahmud lebih menekan payudaranya yang sudah tersingkap
dari jubah putih yang menutupinya. Sebelah kiri dan kanan Mahmud
bergantian memeras toket wanita yang telah lama menjadi pujaannya ini.
Wanita alim, yang kini telah menjadi dokter, anak seorang Kyai ternama,
dengan paras yang cantik dan tubuh yang begitu bahenol, sepertinya wajar
kalau kini Mahmud begitu menggebu-gebu birahinya di hadapan wanita
cantik nan alim itu.
“Ohh, desahan kamu binal sekali Ukhti, ohhh … aku begitu horny mendengarnya,”
Kata-kata cabul Mahmud bukannya menyadarkan Ummu Aisyah, tapi malah membuatnya makin merasa rendah dan semakin terangsang. Dengan sekali hentakan, Ummu Aisyah pun
mendorong Mahmud hingga pria yang kemejanya kini telah tersampir di
lantai itu terduduk di meja prakteknya. Tanpa diduga sama sekali oleh
Mahmud, wanita berjilbab panjang yang berpenampilan begitu alim itu
tiba-tiba berlutut di hadapannya dan langsung memelorotkan celana
panjang Mahmud, lengkap dengan celana dalamnya yang berwarna biru.
Kontol Mahmud yang berwarna kecoklatan dengan kulup berwarna merah itu
pun teracung tegak di hadapan muslimah berjilbab panjang itu.
“Astaghfirullah, Anti mau apa?”
Tanpa menghiraukan kata-kata Mahmud, Ummu
Aisyah yang telah dimabuk nafsu itu pun memasukkan kontol Mahmud yang
demikian besar ke dalam mulutnya yang suci itu. Mahmud tak pernah sekali
pun membayangkan akan di ‘blowjob’ oleh wanita sealim Ummu Aisyah ini.
Apalagi dengan statusnya sebagai suami orang dan Ummu Aisyah juga adalah
istri orang lain. Perzinahan yang sangat diharamkan ini terasa begitu
nikmat bagi Mahmud. Ummu Aisyah tampak mengerti sekali bagaimana caranya
memuaskan seorang lelaki, berbeda dengan istrinya yang tak mengerti
variasi-variasi posisi dalam bersenggama atau berhubungan seks. Entah
dari mana Ummu Aisyah mengetahui hal ini.
Sambil sesekali memandangi wajah Mahmud,
Ummu Aisyah tampak begitu menikmati mengulum kontol Mahmud yang begitu
panjang itu. Ia memaju mundurkan kepalanya hingga membuat Mahmud merasa
seperti sedang mengentoti mulut wanita alim tersebut. Di dalam mulutnya,
kepala kontol Mahmud pun menikmati pelayanan yang luar biasa dengan
jilatan-jilatan lidah Ummu Aisyah yang melingkari lubang kencingnya
dengan lembut … dan basah.
“Ahhh, bibir Anti begitu nikmat … Ana tak
tahan ingin merasakan juga lubang Anti yang lain, akkhh …” ujar Mahmud
sambil mengelus-elus kepala Ummu Aisyah yang berselimutkan jilbab lebar
berwarna ungu. Ummu Aisyah pun semakin bersemangat karenanya. Ia
terkadang menyelingi kulumannya yang demikian istimewa kepada kontol
Mahmud itu dengan kocokan yang tak kalah erotisnya.
Mahmud yang tak ingin kalah perang duluan
pun langsung menarik Ummu Aisyah ke atas dan menggendong ummahat
beranak satu itu ke arah tempat tidur praktek. Tubuhnya yang tidak
begitu berat pun bukan masalah bagi pria sekekar Mahmud. Setelah
membaringkannya di tempat tidur yang sesaat lalu ditempatinya itu,
Mahmud pun langsung mengangkangi Ummu Aisyah dan melepaskan celana
panjang dan celana dalamnya hingga ia benar-benar telah tanpa busana.
Ummu Aisyah pun tampak sedikit terperanjat, betapa seksinya tubuh pria
yang diidamkannya sejak SMA itu. Dadanya bidang dan berbulu, dengan dagu
berlapis jenggot tipis, bulu kemaluan yang lebat, Ahhh … benar-benar
membuat jiwa muda Ummu Aisyah kembali lagi.
“Mpphhh … Hmmffff …” Mahmud langsung
menindih tubuh seksi ummahat manis tersebut dan menciumi bibirnya yang
begitu indah. Kali ini tangannya begitu cekatan bekerja. Mulai dari
memelorotkan rok dan celana dalam wanita muslimah tersebut, hingga
membuka jubah yang dipakai Ummu Aisyah di bagian depan. Kini tubuh Ummu
Aisyah, seorang ibu beranak satu, dokter yang cerdas, aktivis PARTAI
yang istiqomah, sedang dikangkangi oleh rekannya sesama aktivis PARTAI
yang telah berstatus suami orang itu dengan tubuh yang telah bugil
tanpa sehelai benangpun menutupi, walau masih berbalut jilbab yang hanya
menutup beberapa bagian tubuh bagian atasnya dengan seadanya.
“Akkhhhh … Akhi, kamu begitu jantan, jauh
berbeda dengan suamiku yang selalu tak sempurna dalam masalah seks,”
ujar Ummu Aisyah sambil melekatkan kembali tubuhnya ke tubuh Mahmud yang
sudah sedikit berkeringat itu. Dadanya terasa seperti digelitik oleh
bulu-bulu dada Mahmud yang cukup lebat. Tampaklah pemandangan erotis di
mana dua orang aktivis PARTAI yang berlainan jenis kelamin itu sedang
berpelukan dan bercumbu dengan panas di atas sebuah ranjang pemeriksaan
sebuah klinik.
“Masa sih Ukhti? Bagaimana kalau begini,”
Mahmud pun kembali merangsang Ummu Aisyah dengan mengelus-elus memek
ummahat tersebut yang telah dibanjiri cairan cintanya dengan bau yang
khas sambil sesekali memelintir itilnya yang sebesar kacang merah itu
hingga empunya menggelinjang tak karuan, bagai betina yang haus akan
sentuhan pejantan tangguh.
“AAAAAAAAAAAaaaRRRRRGGGGGHHHHHHHH ………..
nikmat sekali rasanya akhi, ana pengen antum masukkan penis antum yang
besar itu sekarang, ohhh …” jawab Ummu Aisyah sambil meremas kontol
Mahmud hingga empunya meringis-ringis penuh erotisme. Mahmud pun
menambah gempurannya dengan memasukkan jari telunjuk dan jari tengahnya
ke dalam liang senggama sang akhwat. Dan efeknya sungguh menakjubkan,
Ummu Aisyah langsung menggelepar-gelepar seperti hewan yang baru saja
disembelih, seperti haus akan sentuhan pria jantan.
“Baiklah, sekarang balikkan badanmu Ukhti
…” yang diperintah pun seperti kerbau betina yang telah dicocok
hidungnya. Ummu Aisyah pun membalikkan tubuhnya hingga berada di posisi
menungging dengan Mahmud mengambil posisi di belakangnya. Toketnya yang
berukuran 34 itu pun menggantung dengan seksi, membuat setiap pejantan
normal yang melihatnya pasti terangsang hebat.
“Sudah neh Akhh … apa yang akan antum lakukan pada ana?”
Jilbabnya yang lebar menambahkan erotisme
yang demikian unik pada hubungan mereka berdua. Mahmud pun merasakan
hal itu. Ceceran keringat dari tubuh Ummu Aisyah yang berkulit putih itu
pun membuat Mahmud menelan ludah. Ia pun langsung menjilati keringat di
punggung sang akhwat. Ummu Aisyah pun tertawa-tawa binal “Ahhh, apa
yang antum lakukan, akhh … enak sekali Akhh, geliii ….”
“Nikmati saja ukhti … sebentar lagi kita
akan pergi ke surga dunia,” Mahmud pun langsung memposisikan kontolnya
yang terus membesar itu di depan gerbang kemaluan Ummu Aisyah yang telah
berkedut-kedut menahan birahi. Setelah menyampirkan jilbab lebar sang
muslimah di lehernya, Mahmud pun mulai meraba-raba hingga meremas-remas
toket indah Ummu Aisyah. Jilatan lidahnya pun makin naik ke atas hingga
leher wanita terhormat yang cantik itu. Putting payudara sang akhwat pun
tak luput dari pelintiran penuh birahi Mahmud. “Sudah siap ukhtii?”
“Ana siap kapanpun antum mau, Akh …”
Kedua kader PARTAI itu tampaknya sudah lupa daratan dan semakin liar
dalam permainan seksis ini. Tanpa menunggu komando lebih lanjut lagi,
Mahmud langsung mendorong penisnya dari belakang ke dalam memek Ummu
Aisyah yang telah begitu licin itu. Ummu Aisyah merasakan sensasi yang
begitu menakjubkan ketika dirinya disetubuhi dengan posisi seperti
anjing betina sambil toketnya diremas-remas dengan irama yang senada
dengan genjotan di memeknya, ohh, bagaikan sebuah irama music klasik
yang indah. Ia pun tak mampu menahan erangan dan desahan terbinalnya,
“Ahhh … Ahhh … Mahmud, terus entotin ana Mahmud, ohh ohh ohh …”
“Iya ukhtii … kita akan nikmati hari ini
berdua dengan perzinahan terbinal yang bisa kita lakukan, Ohhh …” Mahmud
menambah kecepatan genjotannya di kemaluan suci Ummu Aisyah sambil
berusaha mencari letak bibir wanita alim tersebut untuk dikulum dan
dihisap isinya. Sementara itu kontolnya telah memenuhi isi memek Ummu
Aisyah dan menyentuh ujungnya dengan lihai, dinding memek ummahat yang
baru beranak satu itu terasa masih begitu rapat dan mencengkeram
kontolnya begitu kencang.
“Ohhh … Ohh … ukhti, empotanmu, Ohhh … nikmat sekali, Ohhh …”
Ummu Aisyah merasakan kontol temannya
sewaktu SMA ini begitu besar, jauh dari yang bisa dicapai suaminya
sendiri, sehingga memenuhi seluruh ruang liang senggamanya yang begitu
suci, sebelum kejadian hari ini tentunya. Remasan tangan Mahmud di kedua
payudaranya pun telah membuat Ummu Aisyah benar-benar melayang, Mahmud
telah benar-benar menghancurkan pertahanan birahinya dan menguasai
titik-titik sensitifnya dalam berhubungan intim.
“Ayoo terus Ukhti … Ahhh Ahhh AHhh, puaskan ana seperti kau memuaskan suamimu sendiri, Ahhh …”
“Tidakkk Akhhh … Aku akan memuaskanmu lebih daripada aku memuaskan suamiku sendiri … Ohhhh …”
Mahmud pun merasakan gelombang birahi itu
makin lama semakin dekat, hingga akhirnya ia tak bisa menahannya lebih
lama lagi, “Ana mau sampai Ukhti, Ohhhhh …”
“Ana juga Akhii …. AAAaaaaaaaaahhhhhhhhhhh ……” Dan Akhirnya …
Crrrtttttttttt … orgasme Ummu Aisyah pun
membanjiri tempat tidur di mana ia biasa menyuntik pasien itu, walau
kini dirinyalah yang sedang “disuntik” oleh lelaki yang bukan suaminya
sendiri.
Dan Crooottttt ……. Croooottttt ……..
Mahmud pun mengalami orgasme yang hebat beberapa saat kemudian,
meninggalkan mereka berdua dalam kelelahan erotis yang begitu nikmat.
Tubuh mereka berdua pun ambruk di atas tempat tidur tersebut, dan Mahmud
tidak mau melepaskan kontolnya dari liang senggama Ummu Aisyah yang
demikian hangat. Mereka pun tertidur dalam posisi seperti itu, dan baru
bangun ketika maghrib menjelang